ida  

Posted by: Story in

CITAKU DI PULAU


Aku menjadi dokter yang terpilih mewakili organisasi dunia melaksanakan proyek perbaikan gizi masyarakat di suatu kepulauan. Tempat aku bekerja jaraknya hanya satu jam pelayaran dan terletak dalam satu propinsi dengan tempat tinggal kami. Atas persetujuan suami, kami berpisah dan setiap dua minggu aku pulang ke rumah.

Sepeninggalku, ternyata suamiku menunjukkan dirinya sebagai gay. Dia mempunyai pemuda simpanan teman tidur dan pemuas sex. Selama aku dinas di kepulauan, pemuda itu beberapa kali dibawa pulang menginap di rumah. Untuk menyembunyikap sikapnya, sehari-hari teman gaynya disimpan di luar, disewakan rumah. Kejadian ini memukul perasaanku. Segala upaya untuk menyadarkan ternyata tidak membawa hasil.

Aku membawa kedukaanku di pulau dengan cara melayani masyarakat setempat. Untuk mengisi kekosongan waktu, aku buka praktek sebagai dokter umum. Suatu hari ketika jam praktek hampir usai, seorang pasien laki-laki tegap berkumis dan bercambang datang minta agar diperiksa. Ia memperkenalkan namamanya Hamid. Keluhannya sering pusing. "Silakan Pak Hamid naik ke tempat tidur biar saya periksa". Segera aku memeriksa pernafasan, tekanan darah dan lain-lainnya. Ketika tanganku memegang tangannya yang berbulu lebat, ada perasaan canggung dan geli. Sewaktu Pak Hamid pamit, dia meninggalkan amplop biaya pemeriksaan. Ternyata isinya uang yang jumlahnya melebihi kewajaran tarip seorang dokter umum.

Hari berlalu, ketika suatu malam saat aku akan mengunci kamar praktek, dihadapanku telah berdiri Pak Hamid "Dokter apakah masih ada waktu untuk periksa saya ?. Maaf saya datang terlalu malam karena ada pekerjaan tanggung". Aku kaget karena kehadirannya tanpa aku ketahui. Dengan senyum geli aku membuka kembali ruang praktek sambil mempersilakan masuk. "Dok, saya tidak mempunyai keluhan. Hanya saya ingin tahu apakah tekanan darah saya normal". Demikian pak Hamid mengawali pembicaraan. "Saya bisa tidur nyenyak setelah makan obat dokter". Sambil memerika, kami berdua terlihat pembicaraan ringan, mulai dari sekolah sampai hobi. Dari situ aku baru tahu, Pak Hamid telah dua tahun menduda ditinggal mati istri dan anak tunggalnya yang kecelakaan di Solo. Sejak saat itu hidupnya membujang. Ketika pamit dari ruang praktekku, Pak Hamid menawarkan bersedia menemani apabila aku ingin menyelam di kepulauan karang. "Dok, panoramanya sangat indah, pantainya juga bersih lho". Aku setuju atas tawaran itu dan Pak Hamid akan menyiapkan perlengkapan yang diperlukan.

Dalam speed boath yang menyeberangkan kami, hanya berisi aku, Pak Hamid dan pengemudi kapal. Sesampainya disana, aku merasa canggung ketika harus berganti pakaian selam di hadapan laki-laki. Tapi aku juga belum tahu cara mengenakan pakaian selam jika tanpa bantuan Pak Hamid. Terpaksa dengan pakaian bikini aku dibantu Pak Hamid memakai pakaian renang. Tangan kekar berbulu itu beberapa kali menyentuh pundak dan leherku. Ada perasaan merinding.

Tanpa terasa kegiatan menyelam menjadi kegiatan rutin. Bahkan pergi ke tempat penyelaman sering hanya dilakukan kami berdua, aku dan pak Hamid. Semakin hari jarak antara aku dengan Pak Hamid menjadi lebih akrab. Dia tidak lagi memanggilku Bu Dokter, tapi cukup namaku, dik Nastiti.

Musin barat hampir tiba, kami berdua di tengah perjalanan ke tempat penyelaman. Tiba-tiba datang hujan dan angin sehingga gelombang laut naik-turun cukup besar. Aku mual, sehingga kapal dibelokkan pak Hamid ke arah sisi pulau yang terlindung. Kami turun ke pantai, duduk di bangunan kayu beratap rumbia tempat para penyelam biasa istirahat sambil menikmati bekal. Hanya ada dua bangku panjang dan meja kayu di tempat itu. Angin kencang menyebabkan tubuh kami basah dan dingin. Aku duduk mepet ke Pak Hamid. Aku tidak menolak ketika pak Hamid memelukku dari belakang. Tangan berbulu lebat itu melingkar dalam dada dan perutku. Dekapan itu terasa hangat dan erat. Aku memejamkan mata sambil merebahkan kepalaku di pundak, sehingga rasa mabuk laut mulai reda.

Sebuah kecupan ringan melekat di keningku, kemudian bergeser ke bibir, aku berusaha menolak, tapi tangan yang melingkar di dadaku berubah posisi sehingga dengan mudah menyusup dalam bh ku. Tiba-tiba badanku terasa lemas saat jari tangan itu membuat putaran halus di puting susuku. Bibir berkumis lebat itu menjelajah ke bagian sensitip di leher dan belakang telingaku. Persasaan nikmat dan merinding menjalar dalam tubuhku. Bibir itu kembali bergeser lambat menyusur dagu, bergerak ke leher, pundak dan akhirnya berhenti di buah dadaku. Aku tidak tahu kapan kaitan BH itu terbuka. Dorongan kuat muncul di vaginaku, ingin rasanya ada benda bisa mengganjal masuk.

Tangan kekar itu akhirnya membopongku dan meletakkan di atas meja kayu. Bhku telah jatuh di atas pasir, mulut dan tanggan pak Hamid bergantian menghisap dan meremas kedua gunungku, kanan kiri. Aku bagaikan melayang, kedua tanganku menjambak rambut pak Hamid. Kepalaku tanpa terkendali bergerak ke kanan dan kiri semakin liar disertai suara eluhan nikmat. Oooohhhhh......oohhhh... ooooohhhh......aauuhhhhhh. Kedua tangannya semakin kencang meremas buah dadaku. Mulutnya bergeser perlahan ke bawah menelusur pusar........ terus....vaginaku. Ahhh...... husss....... ahh...... aahhhhhh.

Ketika mulut itu menemukan klitorisku, jeritanku tak tertahan Auh..h...h... aahhh..... husss..... sebuah benda lunak menyeruak bibir vaginaku. Bergerak perlahan dalam usapan halus serta putaran di dinding dalam, membuatku semakin melayang. Tanpa terasa eranganku semakin keras. Untuk menambah kenikmatan, aku angkat tinggi pantatku ke atas. Ingin rasanya benda itu masuk lebih dalam. Tapi aku hanya memperoleh dipermukaan. Ooohhhh........haahh...... haaahh...huuu................ t..e...r...u....s.....se..se..se..dikit...atas. Ooohhh.......aahhh ........... Sebuah hisapan kecil di klitorisku memperkuat cengkeraman tanganku di pinggir meja. Hisapan itu semakin lama semakin kuat.... kuat dan kuat..... menjadikan kenikmatan tak terhingga.... memuncul denyutan orgasme. Otot-otot disekitar vaginaku mengejang nikmat dan nikmat sekali. Sesekali nafasku tersengal aaa...........hhhhhh...............huuu..............aahhhhh....aahhhh......... aaaahhhhhhhh....... ahhhh...... huhhhhhhh...ehhhhhh. Denyut itu menjalar dintara pangkal paha dan pantat ke seluruh tubuh. Orgasme yang sempurna telah aku dapatkan. Puncak kenikmatan telah aku rasakan.

Lemas sekujur tubuhku, aku ingin dipeluk erat, aku ingin ada sebuah benda yang masih tertinggal dalam vaginaku untuk mengganjal sisa denyutan yang masih terasa. Tapi aku hanya menemukan kekosongan. Tangan-tangan berbulu itu dengan pelan membuka kembali pahaku. Kedua kakiku diangkat diantara bahunya. Kemudian terasa sebuah benda digeser-geser dalam vaginaku. Semula terasa geli, tapi kemudian aku sadar pak Hamid sedang membasahi penisnya dengan cairan vaginaku. Seketika aku bangun sambil menutup kedua kakiku. Aku mendorong badannya, dan aku menangis. Sambil membuang muka aku sesenggukan. Kedua tanganku menutup dada dan selangkangan. Pak Hamid tertunduk duduk dibangku menjauhi aku. Ia sadar aku tidak mau dijamah lebih dari itu. Sambil menelungkupkan badan di meja, tangisku tetahan. Pak Hamid mendekati dan dengan lembut ia membisikkan kata permintaan maaf. Diapun menyorongkan BH serta celana dalamku. Aku tetap menangis sambil menutup muka dengan kedua tanganku. Akhirnya pak Hamid pergi menjauh menuju kapal mengambil bekal.

Kami duduk berjauhan tanpa kata-kata. Sekali lagi pak Hamid mengajukan permintaan maaf dan berjanji tidak mengulang kejadian itu. Ia menyerahkan botol air mineral kepadaku. "Maafkan aku dik Nasisiti, aku khilaf, aku telah lama tidak merasakan seperti ini sehingga aku khilaf. Aku minta maaf yah, aku harap kejadian ini tidak mengganggu persahabatan kita. Yuk kita minum dan makan siang, terus pulang". Aku merasa iba pada pak Hamid. Ternyata dengan tulus dia masih bisa menahan syahwatnya. Padahal bisa saja memaksa dan memperkosaku.

Kesadaranku mulai pulih, emosiku mereda. Aku mulai berpikir pada kejadian tadi, bukankah aku telah terlanjur basah saat ini?. Bukankah bagian dari kehormatanku telah dijamah pak Hamid? Bukankah tubuhku yang paling sensitif telah dinikmati pak Hamid?. Apa artinya mempertahankan kesucian perkawinan?. Bukankah aku tidak pernah menikmati rasa seperti ini dengan suamiku?. Bukankah aku telah kawin dengan seorang gay? Yah aku telah diusir dari rumahku oleh teman gay suamiku. Tapi itu bukan salah suamiku. Ia terlahir dengan kelainan jiwa. Ia menjadi gay dengan menanggung penderitaan. Ia terpaksa beristri hanya untuk menutupi gaynya. Aku ingin merasakan kenikmatan, tapi aku tidak ingin jadi korban, aku tidak ingin punya anak dari hubungan ini dengan pak Hamid.

Keberanianku mulai muncul. Aku melompat dan memeluk pak Hamid. Kelihatan pak Hamid ragu pada sikapku sehingga tangannya tidak bereaksi memelukku. Aku bisikan kata mesra "Pak, aku kepingin lagi, seperti tadi, tapi aku minta kali ini jangan dikeluarkan di dalam". "Maksud dik Nastiti..... " Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, tanganku meraba kepenisnya. Kemudian tanganku menyusup dalam celana renangnya. Sebuah benda yang tidur melingkar, tiba-tiba bangun karena sentuhanku..."tapi jangan dikeluarkan di dalam ya pak....". "Terima kasih dik....". Senyum pak Hamid berkembang. Kembali aku didekap, aku dipeluk erat oleh kedua tangan kekar. Aku benamkan mukaku di dada bidang berbulu.

Tanpa komando aku duduk di atas meja sambil tetap memeluk pak Hamid. Aku diam, mataku terpejam ketika pelan-pelan aku direbahkan di atas meja. Satu persatu pengikat Bhku lepas. Kedua tangannya meraih dadaku, mulut hangat menyelusur gunungku, perlahan-lahan bergeser ke bawah, semakin ke bawah gerakkannya semakin liar. Gesekan kumis sepanjang perut membuatku menegang. Aku pasrah ketika celana dalamku ditarik ke bawah lepas dari kaki. Mulut hangat itu kembali bermain lincah diantara bibir bawah dan clitoris. Kenikmatan kembali menjalar di rahimku. Auh....e.e.e.e.e.e.e.....haaah...haaah...haah. Auhhhhsss...... aku mengerang. Pak Hamid sambil berdiri di tepi meja mengusapkan benda panjang dan keras di klitorisku. Aa......hhhh.....uhhh.. jeritan kecil tertahan mengawali dorongan penis pak Hamid menyusup vaginaku. Pantatku diangkat tinggi dengan kedua tangannya ketika benda itu semakin dalam terbenam. Tanpa hambatan penis pak Hamid masuk lebih dalam menjelajah vaginaku. Dimulai dengan gerakan pendek maju mudur berirama semakin lama menjadi panjang. Nafasku tersengal menahan setiap gerak kenikmatan. Aaah....ahh.....ahh.......haaaa..........................haassss.......
Entah berapa lama aku menerima irama gerakan maju mundur benda keras dalam vaginaku. Aku telah merasakan denyut orgasme. Auuuuuuuuhhhhh............ Jeritan dan cengkeraman tanganku di pundak belakang penanda aku mencapai puncak orgasme. Gerakan benda itu dalam vaginaku masih tetap berirama, tegar maju mundur dan membuat gesekan dengan sudut-sudut sensitif. Tiba-tiba irama gerakan itu berubah menjadi cepat, semakin cepat..... suara eluhan pak Hamid terdengar dan otot vaginaku kembali ikut menegang, yah... aku mau kembali orgasme... aaahhhhhhhhhhhh....... aahhhh.... Tiba-tiba benda dalam vaginaku ditarik keluar. Semprotan cairan panas mengenai pahaku dan meleleh ke atas meja. Pak Hamid mencapai puncak kenikmatan. Pak Hamid memenuhi janjinya, tidak mengeluarkan cairan mani dalam vaginaku. Aku lemas.....lemas sekali seperti tidak bertulang. Aku didekap lembut dan sebuah ciuman di kening menambah berkurang daya kekuatanku.

Tiga tahun kemudian setelah kejadian di pulau itu, aku telah menikmati hari-hari bahagiaku. Aku sekarang telah menjadi nyonya Hamid. Di pelukanku ada si mungil Indri, buah hati kami berdua. Setelah perceraian dengan suamiku, satu tahun kemudian aku menikah dengan pak Hamid. Mantan suamiku mengirim berita telah sekolah ke Australi. Semua itu hanya kamuflase, seperti dalam pengakuannya lewat telepon, mantan suamiku pindah ke Sedney agar dapat memperoleh kebebasan sebagai kaum gay.

This entry was posted on 12:16 AM and is filed under .